Selasa, 20 November 2012

Santri dan Burung Dara


Santri dan Burung Dara

SETELAH bertahun-tahun memberikan pelajaran, terbersitlah dalam hati kiai itu untuk memberikan ujian kepada murid-muridnya. Ia ingin mengukur sejauh mana keberhasilan para santri menyerap ilmu yang telah ia berikan selama ini. Maka, di suatu malam yang pekat dikumpulkanlah murid-murid di pesantren itu. Setelah semua murid berkumpul, sang kiai lantas memberikan masing-masing
dari mereka seekor burung dara.

Sang Kiai berpesan, ”Santri-santriku, aku ingin tahu apakah kalian semua sudah bisa menyembelih burung dara secara benar. Maka malam ini juga aku minta agar kalian menyembelih burung dara yang ada di tangan kalian masing-masing. Besok pagi, setelah salat dhuha bawalah hasilnya padaku. Tapi ingat, kalian harus menyembelihnya di sebuah tempat yang tidak dilihat dan diketahui oleh siapa saja.”

Paginya, ketika matahari mulai hangat dan para santri usai menjalankan salat dhuha, mereka berkumpul di surau. Sang kiai menanyakan perihal tugas yang telah diberikan semalam.

”Bagaimana santri-santriku, apakah kalian telah melaksanakan permintaanku semalam?” , kata sang kiai singkat.
Seorang santri yang paling tua menjawab,” Alhamdulillah sudah Kiai, saya sudah menjalankan apa yang panjenengan perintahkan. Saya sudah menyembelih burung dara itu di sebuah tempat, di mana tidak ada yang melihat saya menyembelihnya.”

”Di manakah tempat itu muridku?” tanya Pak Kiai tersenyum.
Santri itu menjawab, ”Di gudang belakang pondok kiai, saya memasukinya dalam keadaan kosong dan lengang, tak ada siapa-siapa, lalu saya menguncinya rapat rapat. Dan saya sembelih burung dara itu di situ.”
”Kamu yakin tak ada yang melihat perbuatan itu?”, tanya Kiai lagi.
”Saya yakin betul Pak Kiai, haqqul yakin Pak Kiai!” jawab santri itu dengan sangat mantap.

Sang Kiai menghela napas. Dia tatap seluruh santrinya. Lalu dengan perlahan dia bertanya, ”Bagaimana dengan yang lain?”
Dan satu per satu para santri itu melaporkan ”tempat rahasia” mereka saat menyembelih burung dara tersebut. Mendengar laporan para santrinya itu,muramlah wajah kiai itu, tampak kepedihan mengendap dalam batinnya. Kenyataan itu membuat para santri menjadi bingung.

”Apakah semua santri sudah hadir di sini dan melaporkan hasil kerjanya?”, tanya Pak Kiai dengan berat. ”Agaknya, semua sudah Pak Kiai,” jawab santri paling tua memberanikan diri. Suasana kembali hening, Pak Kiai dengan mata berkaca-kaca dan wajah yang sedih dan muram duduk mematung. Begitu juga para santri,dalam benak mereka muncul sejuta pertanyaan, apa sesungguhnya yang telah terjadi. Apakah mereka salah dalam menyembelih, tapi semua merasa yakin telah melakukan yang diminta Pak Kiai dengan benar.

Tiba-tiba terdengar langkah seseorang masuk surau dengan perlahan,agak ragu ia masuk, dengan gemetar tangannya memegang seekor burung dara. ”Pak Kiai, saya minta maaf. Mungkin saya santri paling bodoh di sini. Mohon maaf sampai detik ini saya tidak bisa menunaikan tugas yang Pak Kiai berikan,” kata santri muda itu dengan tubuh gemetar.

Seketika seluruh mata memandang ke arah santri yang masih memegang burung dara hidup itu. “Memangnya apa yang membuat kamu tidak bisa menjalankan tugas yang kuberikan padamu?” tanya Pak Kiai berwibawa.

”Sungguh, semalaman saya tidak tidur, saya terus berjalan mencari tempat-tempat yang paling sunyi. Bahkan, saya sampai masuk ke tengah hutan di balik bukit sana. Tetapi tiap kali saya hendak memotong burung ini, saya merasa ada yang mengawasi saya. Saya tidak menemukan tempat yang tidak diketahui oleh Allah. Saya tidak bisa bersembunyi dari Allah, Pak Kiai,” jawab santri itu dengan suara pelan.

Jawaban santri muda itu tiba-tiba membuat muka Pak Kiai terang kembali. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Dengan penuh wibawa ia berkata, ”Santri-santriku, ketahuilah bahwa alasan aku memerintah kalian untuk menyembelih burung dara itu karena aku ingin mengetahui, sampai sejauh mana aku berhasil mendidik kalian. Tadi ketika semua melaporkan hasil sembelihan kepadaku, hatiku benar-benar remuk redam. Begitu banyak aku sampaikan ajaran dan pelajaran. Tapi sepertinya aku tidak benar-benar berhasil mengajar kalian semua. Aku merasa gagal menanamkan tauhid ke dalam sanubari kalian. Namun, santri muda ini, sedikit mengobati kepedihan. Dialah satu-satunya santri yang lulus dalam ujian kali ini karena dialah yang sampai pada penghayatan bahwa tak ada tempat di dunia ini yang lepas dari pengamatan Allah.”

***
Cerita nan indah ini, sudah lama sekali saya dengar, dan berkali-kali saya dengar dengan versi sedikit berbeda. Dulu nyantri di Mranggen, cerita ini saya dengar dari Pak Kiai. Ketika belajar di Kairo, cerita seperti ini juga beberapa kali saya dengar dari para ulama ketika khotbah Jumat di sana. Cerita yang menjelaskan tentang keberhasilan yang sebenarnya dalam meraih ilmu pengetahuan.

Menurut Alquran, ciri-ciri keberhasilan sejati penuntut ilmu,yaitu orang itu senantiasa menyadari keberadaan Allah, lalu terbit di dalam hatinya rasa takut kepada Allah.

”… Sesungguhnya,yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fâthir [35]:28).

Tidak ada komentar: