Minggu, 11 November 2012

HIDUP INDAH DENGAN IBADAH


( HIKMAH ) HIDUP INDAH DENGAN IBADAH

Begitu banyak kita dapati orang yang di mata kita terlihat kekurangan dan menderita. Namun mereka justru hidup dengan bahagia dan mensyukuri apa yang ada. Sementara tidak jarang pula orang yang hidup d
engan harta melimpah tetapi hidupnya tidak nyaman, bahkan ia cenderung merasa kurang atas apa yang ia dapatkan. Ingin lagi dan lagi, namun harta tak mampu membuatnya bahagia. Jika sudah begini, sebenarnya apa yang bisa membuat kita bahagia?

Bahagia itu letaknya ada di hati dan pada persepsi menghadapi ujian. Meminjam permisalan yang dipakai Mbah Dipo dalam sebuah tulisannya, seorang miskin yang tiap hari tinggal digubug reot dan hidup dengan miskin akan merasa senang, jika ada orang baik yang menjanjikan bulan depan ia akan diberi pekerjaan dengan gaji 5 juta per bulan. Jauh sebelum ia menikmati gaji itu pun ia akan bahagia, gubug reot dan kehidupan miskinnya akan ia lewati dengan bayangan indah tentang janji yang akan diterimanya bulan depan.

Namun coba lihat hidup seorang yang kaya raya, yang istrinya cantik, mobilnya banyak, uangnya melimpah, dan rumahnya mewah yang mendapat surat “cinta” dari pengadilan tentang statusnya sebagai terdakwa. Malam-malamnya ia lewati dengan perasaan gelisah meski tidur di tilam indah dan empuk bersanding istri secantik bidadari. Tidak lain karena bulan depan kemungkinan ia akan menghuni hotel prodeo.

Begitulah kebahagiaan seseorang, jika terhadap janji seorang manusia saja bisa sedemikian senang, maka terhadap janji Allah yang pasti berupa surga, seharusnya kita bisa melewati hidup ini dengan manis, bahagia dan penuh kesyukuran serta berbuat yang terbaik untuk akhirat yang diidamkan: surga.

Meskipun di dunia kita merasakan penderitaan karena istiqamah dalam kebenaran, tetapi dengan mengingat janji tersebut, kita akan tetap tersenyum melewati hari-demi hari, karena kita tahu, kelak akan berakhir dengan janji yang pasti. Bahwa ‘kepahitan’ itu hanya sebentar dan akan ditukar dengan kemanisan yang kekal. Sebagaimana tekad Bilal saat didera siksa di bawah terik matahari kota Mekah. Ia berucap tabah, “Ahad… Ahad…!”

Persepsi memang selalu bisa memengaruhi, mengubah sesuatu yang jelek menjadi indah, mengubah yang pahit jadi manis. Karena segelas air putih takkan berubah rasa menjadi madu, kecuali engkau menuangkan beberapa sendok madu ke dalamnya. Ia bahkan berasa pahit bila yang kau tuang adalah empedu. Dan madu itu, boleh jadi ada dalam bentuknya sebagai persepsi maupun amal-amal yang membahagiakan.

Maka sebagaimana segelas air itu, tuangilah hidupmu dengan madu, dengan amal-amal yang membahagiakan hidupmu. Jangan kau tuang racun yang merusak amal dan membuat hidup kelabu. Wallahu a’lam. Dapatkan postingan lainnya di www.http://orangsholih.blogspot.com

Kisah Hikmah, Jeruk Busuk Rasa Manis

Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, “Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? biar saya ce
pat mati?”

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, “Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?” suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya? Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. “Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa,” kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, “Jeruk asam begini kok dibawa…”

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli sepeti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu. (kisahislami.com)

Nb : Lihatlah sesuatu dari sudut pandang yg lebih luas, dari sudut pandang orang lain. Karena belum tentu apa yg kita pikirkan itu benar.

Tidak ada komentar: