Kamis, 19 April 2012

Ali Bin Abi Tholib ra



Ali Bin Abi Tholib ra


S
eusai ditandatanganinya perjanjian Hudaibiyyah di bulan Dzulqa'dah tahun keenam Hijriyah, Rasulullah saw dan kaum muslimin merasa lega karena musuh yang selama ini paling sengit memerangi kaum muslimin, yaitu Quraisy telah menawarkan perdamaian dan gencatan senjata selama sepuluh tahun.
Namun demikian, masih ada satu musuh lagi yang selalu menunjukkan permusuh-annya dan melancarkan berbagai jurus makarnya untuk menghabisi kaum mus-limin serta melemahkan kekuatan Islam. Musuh tersebut adalah kaum Yahudi yang telah berulang kali melakukan peng-khianatan terhadap Rasulullah saw dan kaum muslimin. Pada masa awal Rasulullah saw dan kaum muslimin hijrah ke Madinah, beliau telah membuat suatu perjanjian dengan kaum Yahudi yang isinya kesepakatan bersama untuk hidup berdampingan secara damai di kota Madinah serta bersama-sama menjaga keamanan kota tersebut dari setiap serangan yang datang dari luar. Akan tetapi perjanjian tersebut mereka langgar berulang kali, bahkan salah satu suku dari mereka yaitu Bani Nadzir pernah mem-buat suatu makar jahat, berupa upaya pembunuhan terhadap Rasulullah saw.
Kekuatan Yahudi saat itu terpusat di Khaibar, satu kota yang besar, memiliki beberapa benteng yang berlapis-lapis dan kebun-kebun kurma yang subur. Mereka memiliki delapan benteng yang besar di kota tersebut dan mereka sangat yakin bahwa kekuatan mereka tidak akan mungkin dikalahkan oleh tentara manapun karena benteng-benteng ter-sebut sangat kokoh dan berlapis-lapis. Kota tersebut terletak 60 – 80 mil di utara Madinah.
Keberadaan mereka di Khaibar sangat membahayakan Islam dan kaum mus-limin. Sebelumnya telah terbukti bahwa kaum Yahudi Khaibar inilah yang mem-provokasi suku Quraisy dan Ghothofan (dua suku besar Arab) untuk berkoalisi menyerang kaum muslimin dalam suatu peperangan yang dikenal dengan perang Ahzab (perang Khandaq). Mereka juga yang telah mendesak suku Quraidhah (suku Yahudi di Madinah yang belum pernah melanggar perjanjiannya ter-hadap Nabi saw) untuk melanggar per-janjian dan ikut bergabung dalam pasukan Ahzab (sekutu) memerangi Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Bukti-bukti tersebut cukup kuat bagi Rasulullah saw untuk memberikan hu-kuman yang setimpal atas kejahatan-kejahatan mereka. Maka pada akhir bulan Muharram tahun ketujuh Hijriyah keluarlah Rasulullah saw bersama 1.400 sahabatnya menuju Khaibar. Pada saat itu Yahudi Khaibar memiliki kekuatan tentara tak kurang dari 10.000 prajurit serta memiliki persenjataan yang lengkap.
Peperangan yang cukup sengit terjadi di sekitar benteng Naa'im, satu dari delapan benteng mereka yang terkenal kokoh. Berkali-kali tentara kaum mus-limin mencoba untuk menjebol benteng tersebut tetapi selalu gagal. Pada suatu malam Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya:

"Sungguh aku akan menyerahkan panji perang ini besok kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberikan ke-menangan lewat kedua tangannya, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya." Para sahabat pun sibuk membicarakan ten-tang siapakah yang akan menerima panji tersebut. Pagi harinya para sahabat men-datangi Rasulullah saw, masing-masing dari mereka berharap bahwa dialah yang akan diserahi panji perang tersebut. Lalu beliau saw bersabda, "Di manakah 'Ali bin Abi Thalib?" Para sahabat menjawab, "Wahai Rasulullah, dia sedang sakit mata." Beliau bersabda, "Panggillah dia untuk datang kesini." Ia pun didatang-kan lalu Rasulullah saw  meludah pada kedua matanya dan mendo'akannya, se-ketika itu juga sembuhlah sakitnya bahkan seolah-olah tidak pernah sakit sebelumnya. Kemudian beliau menyerah-kan panji perang tersebut kepadanya. Lalu 'Ali bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku perangi mereka hingga men-jadi muslim seperti kami?" Beliau ber-sabda, "Berjalanlah dengan perlahan sampai engkau mendatangi halaman mereka, kemudian serulah mereka untuk masuk Islam dan beritahulah tentang hak-hak Allah yang wajib atas mereka. Demi Allah! Seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang saja dengan sebabmu maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta yang merah-merah." (HR. Bukhari)

Adapun pengaruh dari tiupan ludah Rasulullah saw kepada 'Ali tersebut dilukiskan sendiri oleh Ali sebagai ber-ikut, "Aku tidak pernah sakit mata dan tidak pernah pusing semenjak Rasulullah saw mengusap wajahku dan meludah pada kedua mataku pada waktu perang Khaibar yaitu saat beliau menyerahkan panji perang kepadaku." (HR. Ahmad dan Abu Ya'la, hadits shahih)

Kemudian kaum muslimin kembali menggempur benteng-benteng Yahudi dengan semangat yang baru. 'Ali bin Abi Thalib keluar memimpin kaum mus-limin menuju benteng tersebut. Sebelum melakukan penyerangan dia menyeru orang-orang Yahudi untuk masuk Islam, akan tetapi mereka menolak seruan tersebut dan mereka menantang kaum muslimin dengan dipimpin oleh Marhab, raja mereka. Marhab menantang perang tanding (duel) seraya berkata:
"Medan Khaibar telah tahu bahwa akulah Marhab!
Penyandang senjata pahlawan yang teruji!
Jika peperangan telah berkecamuk dan menyala!"

Amir bin Al Akwa' ra maju untuk menghadapinya, perang tanding berjalan seru, namun Amir terbunuh sebagai syahid. Melihat kenyataan ini Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya baginya dua pahala (seraya beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya) sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan mujahid yang sedikit sekali seorang Arab yang berjalan seperti dia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan sombongnya Marhab menan-tang sekali lagi perang tanding seraya melantunkan bait-bait syair di atas. Mendengar tantangan Marhab tersebut maka 'Ali bin Abi Thalib maju seraya berkata:
"Akulah yang diberi nama oleh ibuku dengan Haidaroh (singa)
Bagaikan singa hutan yang seram tampangnya.”
Sekejap saja beliau berhasil memukul kepala Marhab dan menewaskannya saat itu juga. Kemudian kemenangan kaum muslimin dapat diraih dengan kepemim-pinan 'Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Abu Rafiq ra bahwa ia berkata, "Ketika peperangan berkecamuk, 'Ali bin Abi Thalib sempat mengambil salah satu pintu benteng untuk dijadikan tameng (perisai)nya, pintu tersebut senantiasa dipegangnya sambil berperang menghadapi lawan sampai Allah memberikan kemenangan atas kami, setelah itu beliau lemparkan pintu tersebut. Sungguh aku menyaksi-kan bahwa delapan orang di antara kami berupaya keras untuk membalikkannya tetapi kami tak kuasa (karena beratnya)."

Demikianlah 'Ali bin Abi Thalib seorang pahlawan Islam yang pemberani lagi zuhud terhadap dunia. Dia pernah berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari mengikuti kebenaran, sedangkan panjang angan-angan akan membuat seorang hamba lupa terhadap akheratnya. Ingatlah! Sesungguhnya dunia berlalu ke belakang (meninggalkan kita) sementara akherat datang menjemput kita. Masing-masing dari keduanya memiliki putra, maka jadilah kalian putra-putra akherat dan janganlah menjadi putra-putra dunia. Sungguh hari ini adalah saat beramal dan tidak ada hisab, dan kelak yang ada hanyalah hisab dan tidak ada lagi kesempatan beramal."

Alangkah butuhnya Islam terhadap pemuda-pemuda seperti beliau yang tulus mencintai Allah dan Rasul-Nya, lemah lembut terhadap orang yang beriman, tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut cercaan orang-orang yang suka mencerca. Inilah sifat-sifat generasi yang diharapkan oleh Islam. Inilah kriteria generasi yang akan membawa perubahan (lihat Qs. Al Maidah[5]:54).  Imam Malik rahimahullah pernah berkata, "Tidak akan menjadi baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang generasi awal umat ini menjadi baik dengannya." Ya, benar! Generasi awal umat Islam tidak melejit menjadi jaya (mulia) kecuali dengan meluruskan aqidah dan tauhidnya, men-jadikan Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya lebih dicintai daripada dunia dan seisinya (lihat Qs. At Taubah[9] :24)


Sumber : 1. Ar Rahiiqul Makhtuum, Shafiyyur-
rahman Al Mubarakfuri
2. Taariikhul Khulafaa', Al Hafidh
Jalaaluddin As Suyuthi


Tidak ada komentar: